Ya, ke Larantukalah Vera dipanggil Tuhan, setelah ia menyaksikan di Televisi sebuah acara prosesi Patung Tuan Ma, di Larantuka itu. Sebelumnya ia sudah mendengar dari beberapa teman yang sudah kembali dari sana; tetapi belum sepenuhnya ia tanggapi. Hingga setelah menyaksikannya di Televisi hati Vera terketuk untuk mengikuti dari dekat perayaan keagamaan di pulau yang berpenduduk seratus persen Katolik ini. Ia ingin sekali ke Larantuka untuk mengambil bagian langsung pada prosesi Tuan Ma; yaitu prosesi Patung Bunda Maria Berdukacita, yang sedang mencari Yesus anaknya, Tuan Ana. Ia kemudian mencari informasi hingga akhirnya pada Paskah 2009 itu, Vera dan suaminya bisa terbang ke Larantuka, menghadiri dan merayakan Paskah di sana. Tuhan yang mengetuk hati Vera dan tanggapan yang positif atas panggilan Tuhan itu memungkinkan Vera bisa mencapai Larantuka.
Vera adalah salah satu dari sekian banyak umat Katolik dari luar Larantuka, dan lagi terpaut jarak yang sangat jauh ikut mengambil bagian dalam prosesi ini. Bukan lantaran karena eksklusivitasnya, tetapi prosesi ini, memang bukan sekedar perayaan keagamaan Katolik yang umum di mana-mana, tetapi juga melekat dalam tradisi dan budaya setempat. Inilah juga yang membuat perayaan iman ini banyak digemari umat, bukan saja bagi umat Larantuka, tetapi bagi semua umat beriman. Tentu pula, ini bukan sekedar wisata budaya atau rohani tetapi adalah sebuah perayaan iman, di mana terdapat kesempatan bagi umat menjadi lebih dekat dengan Tuhan.
“Prosesi itu berlangsung dari hari Jumat Agung pada pagi hari sampai hari sabtu pagi, yang diawali dari sebuah Kapel tempat Patung Tuan Ma, Patung Bunda Maria Berdukacita ditahtakan,” ujar Vera menceritakan awal mulainya prosesi. Umat tumpah ruah di jalanan. Warga seantero kota Reinha Rosari turun ke jalan. Umat yang tinggal di daerah pegunungan pun ikut turun. Kota Larantuka seperti kota mati untuk sementara waktu, karena warga terpusat pada satu tempat. Aktivitas rumah terhenti, aktivitas perkantoran, dan lain-lainnya juga terhenti; karena semua tertuju pada perarakan Patung Bunda Maria ini. Di depan rumah-rumah, diletakkan gambar-gambar kudus dan lilin yang selalu menyala. Selama duapuluh empat jam penuh, lilin-lilin di setiap rumah di Kota Larantuka menyala. Hari itu benar-benar menjadi hari istimewa dan lain dari hari-hari yang lain, yang khusus mereka persembahkan pada Bunda Maria dan Tuhan Yesus.
Pemandangan inilah yang membuat hati Vera terenyuh. “Sejak awal prosesi itu, betapa pun banyaknya umat yang turun ke jalan, namun suasana hening sangat terjaga,” urai Vera dengan rasa haru. “Umat berdoa dengan sangat khusuk,” katanya lagi. Umat yang berbondong-bondong sebanyak itu, mengikuti prosesi dengan hati tenang dan berdoa dengan begitu khusuk menggugah hati kecil dan iman Vera. “Sungguh sebuah perayaan iman yang luar biasa,” katanya dalam hati.
Dari Kapel tempat umat berkumpul pada awal prosesi tadi, patung Tuan Ma diarak menuju Katedral. Mengesannya lagi, patung Yesus yang juga sedang mencari Ibunya juga diarak menuju Katedral yang sama, namun Yesus diarak melalui Laut, sampai akhirnya bertemu Ibundanya Maria di Gereja Katedral Larantuka. Konon dalam sejarahnya, Bunda Maria mencari Yesus, demikian pun Yesus mencari Bundanya Maria, hingga kemudian mereka bertemu di tempat yang sama; di Gereja Katedral Larantuka itu.
Vera pun mengikuti prosesi ini sama khusuknya dengan umat setempat, dan juga peziarah dari tempat-tempat lain. Baginya, ini sebuah pengalaman yang luar biasa sepanjang hidupnya. Ia menyaksikan bagaimana umat setempat begitu khusyuk berdoa. Peran dan partisipasi aktif mereka pun sungguh luar biasa. Ada semangat dan antusiasme besar, layaknya seorang mempelai pria menyambut kekasihnya, demikian sebaliknya. Demikianlah Vera melihat umat yang ikut dalam prosesi ini sungguh larut dalam sukacita iman yang besar karena menyongsong dan mengarak ‘mempelai atau kekasih’ mereka Yesus dan Bunda Maria. Betapa tidak, tatkala Vera memperhatikan kondisi umat setempat, yang kondisi ekonominya realtif sederhana, toh mau berkorban untuk perayaan iman ini. Apa pun mereka korbankan. Waktu, tenaga, materi mereka korbankan bagi Bunda Maria dan Yesus. Mereka adalah orang-orang sederhana, seperti si janda miskin itu. Mereka mungkin sedang kekurangan makanan di rumah, dan dituntut harus segera mencari makan, namun hari itu mereka secara serempak ikut ambil bagian dalam prosesi. Bagi Vera, inilah tanda dan bukti betapa mereka memberi perhatian yang sangat besar untuk kemuliaan Tuhan. Mereka adalah si janda miskin yang memberi dari kekurangan. Tetapi karena tulusnya cinta dan pengorbanan mereka, persembahan itu dianggap besar dan mulia di hadapan Tuhan. Vera kemudian tersentak melihat bagaimana pengorbanan dan perhatian umat yang begitu besar. Dari Larantuka, Vera menimba inspirasi iman yang sangat berharga. Ia belajar bagaimana menjadi sungguh-sungguh murid Kristus yang mampu memuji dan memuliakan Tuhan. Dari Larantuka juga, Vera kemudian termotivasi untuk menjadi semakin dekat dengan Tuhan. Lebih dari sekedar peristiwa iman, prosesi Tuan Ma bagi Vera adalah sebuah perayaan budaya yang sangat indah. Berpadunya budaya dan iman menjadi suguhan menarik bagi Vera ketika itu. Baginya, budaya khas Larantuka telah ikut membantu penghayatan iman, pun sebaliknya iman telah memberi arti rohani pada kultur atau budaya setempat.
Jauh-jauh dari Jakarta bagi Vera tidak akan pernah sia-sia. Ia menimba banyak inspirasi iman, budaya dan juga kepekaan sosial. Antusiasnya umat dalam prosesi ini bagi Vera adalah bentuk penghayatan iman yang luar biasa. Bayangkan jika semangat ini ada dalam setiap umat beriman, betapa kayanya Gereja kita. Antusiasme iman, bukan sekedar eforia yang terjadi begitu saja, tetapi suatu semangat yang timbul dari dalam diri. Baik jika penghayatan iman kita pun ditopang oleh suatu semangat dan antusiasme yang lahir dari dalam diri dan bukan karena ikut-ikutan saja; bukan pula karena ketertarikan sesaat. Telah bertahun-tahun devosi ini dijalankan, namun semangat umat tak pernah surut.
Inilah salah satu praktek devosional yang turut membantu umat mendekatkan diri dengan Allah. Ada banyak cara membangun relasi yang dekat dengan Allah, salah satunya adalah Prosesi Tuan Ma di Larantuka itu. Selain itu, Vera pun sangat terkesan dengan kentalnya aspek budaya dalam prosesi ini. Inilah yang oleh Gereja disebut sebagai praktek devosional yang mengakar dalam budaya. Ada banyak jenis devosi dan prosesi Tuan Ma adalah salah satu jenis devosi yang berbasis budaya. Inilah juga yang mencirikan Gereja Katolik sebagai komunitas iman yang terbuka, termasuk keterbukaan pada budaya-budaya. Dari Larantuka, Vera pun tidak menutup mata terhadap kondisi sosial umat setempat. Ia prihatin sekaligus bangga sebetulnya. Mayoritas umat setempat adalah orang-orang kecil, secara ekonomi sering berkekurangan. Mereka adalah para petani ladang dan nelayan yang berharap dari kemurahan alam. Namun sekaligus bangga, karena dari orang-orang kecil sederhana dan berkekurangan inilah tumbuh semangat iman. Tentu kemiskinan dan soal-soal moral yang lain perlu diatasi. Itulah juga tugas dan wujud iman. Betapa sangat indah kemudian, jika ritual iman seperti ini diikuti juga oleh kesejahteraan sosial bagi umat. Yang pasti, Vera melihat ‘nilai pengorbanan’ dari orang-orang kecil dan sederhana ini sebagai sesuatu yang patut diteladani. Untuk Tuhan, mereka memberikan yang terbaik dan semuanya. Sehingga Vera hanya bisa diam ketika seorang nelayan yang ikut serta dalam prosesi ini berujar: “Hari ini hari Tuhan, kami khususkan, sehingga kami tidak melaut.”
Thomas Suwarta.
Disadur dari MSC Indonesia
http://www.misacorindo.org/
0 komentar:
Posting Komentar