OPINI - Flores Bangkit
Oleh: Robert Bala
Sekilas tuntutan Forum Komunikasi Peduli Nasabah Mitra Tiara (Forkom PNMT), Minggu 3/11 adalah wajar (Flores Bangkit 4/11). Mereka mengatasnamai 17.417 nasabah untuk menyerukan agar pihak manajemen MT mengembalikan simpanan Rp 1,7 triliun.
Tetapi apakah tuntutan tersebut logis? Lebih lagi, apakah mungkin dikembalikannya utuh simpanan? Harapan itu bisa saja. Tetapi mengharapkan tanpa membuat refleksi balik atas proses yang telah dilewati, maka kesia-siaan akan lebih mendekat. Sementara itu nikmat yang didamba menjauh.
Tetapi apakah tuntutan tersebut logis? Lebih lagi, apakah mungkin dikembalikannya utuh simpanan? Harapan itu bisa saja. Tetapi mengharapkan tanpa membuat refleksi balik atas proses yang telah dilewati, maka kesia-siaan akan lebih mendekat. Sementara itu nikmat yang didamba menjauh.
‘Brain Destroy’
Kenyataan menunjukkan, tidak ada keuntungan yang
diperoleh tanpa kerja keras. Ia tidak datang bak membalik telapak
tangan. Kalau pun ada, (misalnya memenangkan lotrei), itu hanya dialami
secara sangat langka dan karenanya tidak bisa digeneralisir.
Iming bunga 10% adalah salah satu contohnya. Kaum
paling cerdik yang mengetahui mekanisme perbankan hanya memberi bunga
berkisar 1% per bulan (malah lebih kurang dari itu). Itu semua tentu
saja sudah dihitung dengan aneka resiko (seperti yang dialami nasabah MT
kini) yang bisa muncul.
Tetapi mengapa janji bunga di luar batas kewajaran
diterima sebagai kewajaran dan didengung-dengung sebagai sebuah
kenyataan yang dalam waktu singat memerdayai begitu banyak orang?
Mengapa ia begitu kuat menghipnotis? Bagaimana menjelaskannya berpijak
pada mekanisme kerja otak?
Otak memiliki perekam memori yang paling ‘lugu’.
Informasi apapun apalagi yang begitu menarik (seperti keinginan menjadi
kaya mendadak), dibawa ke otak dengan begitu cepat dalam hitungan detik.
Jelas, hampir mustahil otak memfilternya.
Itulah yang terjadi dengan iming-iming menjadi kaya
mendadak oleh bunga 10%. Informasi itu dengan cepat dikirim ke otak.
Apalagi informasi itu disertai data penguat tentang kesaksian orang yang
sudah menikmati hasilnya. Ada yang telah membeli kendaraan, membangun rumah, dan masih banyak lagi.
Kesaksian itu lalu dianggap sebagai sebuah
kebenaran final karena orang-orang terdekat yang dijadikan panutan juga
telah menjadi nasabah. Lihat saja pengawai negeri yang jadi pemimpin
lokal terpercaya. Tidak hanya itu. Pemuka agama, tidak sedikit
biarawan-biarawati, beberapa para pastor yang ikut menggiring masuk oleh
harapan akan ‘nabi’ pembawa berkah.
Informasi inilah yang terkirim ke otak tanpa
difilter. Lebih lagi ia dianggap sebagai sesuatu yang ‘lazim’, padahal
tanpa disadari, ia sebenarnya sebuah pembodohan yang tak disadari.
Meminjam ungkapan Henry David Thoreau, “Any fool can make a rule, and any fool will mind it”, bak
sebuah pembenaran. Hal yang mestinya dianggap sebagai sebuah
ketaklogisan untuk tidak mengatakan pembodohan itu kemudian diakui
sebagai sebuah kebenaran.
Di sinilah terjadi ‘brain destroy’,
alias pengrusakkan otak itu bermuara pada sebuah pembodohan. Sayangnya,
pembodohan itu terjadi secara massif dan massal hingga perilaku aneh
itu dianggap sebagai sebuah kebenaran. Tak heran, lahirlah perilaku
tak terkontrol. Pengusaha yang mestinya lebih tahu tentang kerasnya
hidup, terkecoh hingga menyimpan hampir Rp 1 miliar. Atau kas
pembangunan rumah ibadah sebanyak Rp 1,5 bisa dipindahakan agar cepat
‘berbunga’.
Itu semua litani yang turut menggoda rakyat
sederhana ‘menitip’ uang kelompok pada LKF MT. Singkatnya, dalam
sekejap, nasabah menggurita menyebar hingga menyatukan nasabah dari
berbagai kabupaten di Flores, belum terhitung nasabah dari luar yang
ikut menabung.
Kembali(kan) Uang
Mengharapakan dikembalikannya uang nasabah adalah
hal wajar. Ia adalah simpanan yang bagi banyak orang merupakan
segalanya. Malah karena terkecoh bunga besar, banyak orang sederhana
yang telah menjual segalanya.
Namun ‘logiskah’ harapan itu? Menanggapi situasi tak pasti, seorang nasabah menulis polos di media sosial: ‘semoga MT kembali seperti sedia kala.’ Sebuah harapan polos karena masih terhipnotis dengan janji palsu di luar kontrol akal sehat.
Padahal
dengan logika minimal saja hal itu sudah bisa dijawab. Tidak bisa
dijelaskan, mengapa 17.414 nasabah bisa memercayakan uang sebesar Rp 2
triliun itu untuk dikelola oleh sebuah lembaga dengan identitas yang
dipertanyakan. Lebih lagi, apakah di sebuah daerah yang bahkan APBDnya
saja hanya Rp 500 miliar seperti Flotim mampu embuat mukjizat
‘menggandakan’ uang secara ajaib?
Atau
kalau kita membesar(besarkan) keuntungan di era globalisasi teknologi
informasi yang memungkinan Pasar Modal dapat dikendalikan dari “Nagi
Tanah”, tetapi analisis risiko mesti tidak dikesampingkan. Selain itu
legalitas lembaga harus menjadi pertaruhan.
Bila
aspek di atas tidak diperhatikan maka menyimpan uang pada MT, tidak
bedanya dengan sebuah perjudian. Dengan demikian adalah lucu ketika para
nasabah di lembaga dengan tingkatan kredibilitas sangat rendah itu
dituntut untuk menggembalikan simpanan pokok. Mustahil yang kalah judi
melapor ke polisi karena dengan demikian ia pun seharusnya ikut
tertangkap.
Pada sisi lain, pengembalian itu mungkin kalau dimungkinkan oleh proses menggugat juga nasabah lama yang sudah terlanjur diuntungkan oleh bunga yang barangkali begitu besar. Mereka sudah dimanjakan oleh bunga besar dan kini menepuk dada karena ‘untung torang so kembali poko po’ (keuntungan atau bunga yang diperoleh sudah sama dengan simpanan pokok- Red)
Menuntut pengembalian uang nasabah keseluruhan hanya mungkin kalau nasabah lama juga ‘dipaksakan’ mengembalikan bunga mereka. Mereka
telah menikmatinya dan telah menjadi bagian dari promosi itu. Dengan
demikian usaha mengembalikan meski hanya simpanan pokok tidak bisa
terjadi tanpa keterlibatan menuntut nasabah lama untuk mengembalikan
bunga yang sudah dinikmati.
Semuanya
itu akan terasa sangat kurang kalau tidak disertai tanggungjawab
pemerintah daerah. Mekanisme seperti ini sudah berjalan cukup lama
tetapi dibiarkan dan terkesan pemerintah daerah hanya memanggil dan
menasihati. Hal itu juga bisa memunculkan kecurigaan, bisa saja karena
tidak sedikitnya menjadi nasabah atau karena daya kritis mereka yang
sedikit itu pun telah ‘dibeli’.
Kenyataan
ini baru ‘terbongkar’ ketika ‘orang luar’ dengan daya kritis
mempertanyakan hal itu hingga meminta lembaga terkait untuk memonitoring
proses aneh di lapangan itu. Hadirnya surat dari OJK (S-525/PM.04/2013 dan surat dari Kemenegkop dan UMK (1270/Dep 3.5/IX/2013 bisa dimengerti dalam proses ini. Pemerintah Daerah pun baru ikut ‘terkejut’ dan mulai mengevaluasi.
Bentuk
kelalaian ini harus menjadi bagian yang harus ditelusuri kalau mau agar
kasus MT itu diselesaikan secara menyeluruh. Dalam proses ini,
keterlibatan kaum berjubah yang ikut memberi ‘berkat’ atau ikut
menyimpan uangnya pun menjadi bagian yang tak terpisahkan. Keterlibatan
mereka yang diharapkan punya daya kritis telah turut mempercepat
pembodohan itu.
Inilah fakta menyedihkan. Jarod Kintz, benar ketika menulis : Even
a fool recognizes that there is a great sadness in a bucket of tears.
But only a wise man thinks to conserve water and use that bucket to wash
his car. Bahkan orang bodoh menyadari bahwa kesedihan itu begitu
besar hingga air mata yang terkumpul bisa menjadi satu ember. Tetapi
orang bijak akan bisa memanfaatkan air itu untuk mencuci mobilnya. Untuk
kita, barangkali air itu untuk ‘mencuci’ otak dan hati agar lebih
kritis dan realistis.
Kalau demikian kita bisa belajar dan menjadikannya pengalaman yang mesti tidak diulang lagi.
0 komentar:
Posting Komentar